Kekerasan IPDN Produk Kultur Pendidikan yang Keliru
Gagah Wijoseno - detikcom
Jakarta - Perilaku kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (dulu STPDN) menelan korban lagi. Kali ini, praja Cliff Muntu, tewas akibat dianiaya seniornya.
Pengamat Pendidikan Arief Rahman menilai, hal ini disebabkan kultur pendidikan yang keliru diterapkan institut yang bertempat di Jatinangor, Sumedang itu.
"Di antaranya hubungan senior-yunior yang salah diinterpretasikan," ujar Arief saat dihubungi detikcom, Minggu (8/4/2007).
Kultur kekerasan timbul akibat para pelajar di IPDN menggunakan proses kekuasaan dan kekuatan dalam hubungan senior-yunior. Penghormatan terhadap senior dipercaya hanya bisa dibentuk dengan cara-cara kekerasan.
"Itu kesalahan besar, nanti akhirnya seperti itu (ada yang tewas). Kultur itu sebenarnya ada di hutan," tutur pria yang juga menjabat sebagai Direktur Labschool Jakarta itu.
Arief tidak setuju bila IPDN dibubarkan atau dihilangkan. Ia mengusulkan lebih baik IPDN dibekukan selama 4 tahun agar generasi yang membawa kultur kekerasan lulus terlebih dahulu.
"Kalau dibubarkan kita seperti menghilangkan tempat melacak (kasus kekerasan). Itu tidak menolong, sebab yang diperbaiki adalah kultur. Kultur kekerasan harus dipenggal," jelasnya.
Nantinya praja-praja yang baru masuk adalah pribadi yang segar dan sehat. Tidak menjadi korban budaya kekerasan para seniornya.
Lalu bagaimana dengan generasi yang sudah menjadi korban kekerasan?
Arief mengusulkan adanya pemberian materi pelajaran kepribadian yang sehat beserta lokakaryanya. Hal ini harus dilakukan bertahap karena tidak bisa instan.
"Menata kultur lebih sulit daripada memperbaiki jembatan, harus berkelanjutan," pungkasnya
COMMENTS :
0 comment to “::: IPDN apa bedanya ::::”
Post a Comment